Sabtu, 29 Desember 2012

SEJARAH PERJUANGAN SULTAN MUHAMMAD SALAHUDDIN


Tokoh yang memegang peran utama dalam Perkembangan sejarah Bima pada awal abad XX adalah salah seorang putra sultan Ibrahim (Sultan XIII) dengan permaisurinya Siti Fatimah Binti Lalu Yusuf Ruma Sakuru yaitu Sultan Muhammad Salahuddin. Lahir di Bima pada tanggal 15 Zulhijah 1306 H (14 juli 1889), memiliki 11 orang saudara. Tiga saudara seayah seibu masing – masing bernama Abdullah (Ruma Haji), Abdul Qadim (Ruma Siso), dan Nazaruddin (Ruma Uwi). Saudara seayah terdiri dari Siti Hafsah, Abdul Azis, Sirajuddin (Ruma Lo), ibunda ketiganya bernama, Siti Aminah,  kemudian Siti Aminah (Ruma Gowa) ibundanya karaeng Bonto Ramba Putri, Karaeng Mandale, Siti Aisyah (Ibundanya bernama Baena), Lala Ncandi (Ibunya bernama Aisyah), Ahmad (Ibunya bernama Sakinah) dan La Muhammad (Ibunya bernama (Hamidah).
Sultan Muhammad Salahuddin menikah dengan Siti Maryam Binti Muhammad Qurais, kemudian menikah lagi dengan Siti Aisyah, putri Sultan Muhammad Sirajuddin (Sultan Dompu) dengan permaisurinya Siti Maryam Binti Muhammad Qurays. Dari pernikahan pertama tersebut mempunya lima orang putri yaitu, Siti Fatimah, Siti Aisyah, Siti Hadijah, Siti Kalisom dan Siti Saleha. Sedangkan Dari pernikahannya dengan Siti Aisyah putri Sultan Dompu memperoleh seorang putra bernama Abdul Kahir (Sultan Abdul Kahir II), Siti Maryam (Ruma Mari), Siti Halimah (Ruma Emi) dan Siti Jahara (Ruma Joha).
Mulai usia kanak – kanak Salahuddin telah mendapat pendidikan agama dan ilmu pemerintahan dari ulama dan pejabat istana. Sepanjang perkembangan umurnya, Muhammad Salahuddin menekuni ilmu tauhid, serta siasat (politik), dan sangat rajin mempelajari ilmu Al-Qur’an serta Hadits. Selain mendapat bimbingan dari ulama lokal, Salahuddin kecil berguru pada ulama yang didatangkan dari batavia(Jakarta) yaitu H. Hasan dan Syekh Abdul Wahab dari Mekah. Sultan Muhammad Salahuddin merupakan murid yang rajin dan cerdas serta rajin membaca. Di perpustakaan pribadinya mempunyai koleksi buku – buku bermutu karangan ulama besar seperti Imam Safi’i. Koleksi buku – bukunya masih dirawat dengan baik oleh anak cucunya. Muhammad Salahuddin juga gemar menulis, salah satu buku karangannya adalah “Nurul Mubin” diterbitkan oleh percetakan “Syamsiah Solo” sebanyak tiga kali dan penerbitan terakhir pada tahun 1942. Nama Nurul Mubin juga menjadi nama salah satu panti asuhan di kota Bima yang beralamat di jalan soekarno –Hatta depan Paruga Nae Kota Bima.
Berdasarkan kemuliaan akhlak dan ilmu pengetahuannya yang luas, akhirnya pada tanggal 2 November1899, diangkat menjadi “jena teke”(Putera Mahkota) oleh majelis Hadat. Untuk menimba pengalaman dalam menjalankan roda pemerintahan, maka pada tanggal 23 maret 1908 dianggkat menjadi jeneli Donggo(jabatan setingkat camat). Setelah ayahnya Sultan Ibrahim mangkat pada tahun 1915, Muhammad Salahuddin memegang tampuk pemerintahan, kemudian pada tahun 1917 secara resmi di tuha ro lanti(Dilantik) menjadi Sultan Bima XIV yang memerintah dari tahun 1915 – 1951 M, disamping sebagai Sultan, pada tahun 1949 diangkat menjadi pemimpin Dewan Raja – Raja se-pulau Sumbawa atas persetujuan sultan Dompu dan Sultan Sumbawa. Dalam bidang organisasi pergerakan, sultan Muhammad Salahuddin menjadi perintis, pelindung dan ketua berbagai organisasi yang bergerak di bidang agama, sosial dan politik.
Pada tahun 1921, Muhammad Salahuddin mulai mencanangkan sistim pendidikan moderen dengan mendirikan HIS di kota Raba . Kemudian pada tahun 1922, mendirikan sekolah kejuruan wanita ( kopschool ) di Raba .Untuk memimpin sekolah itu, sultan Muhammad Salahuddin mendatangkan seorang keturunan Indonesia yang berjiwa nasionalis dari sulawesi selatan bernama SBS Yulianche. Guna pemerataan pendidikan , pada tahun 1922 Sultan Muhammad Salahuddin mendirikan sekolah agama dan umum di seluruh kejenelian(Sekarang kecamatan). Mulai saat itu di desa – desa tertentu dirikan sekolah agama setingkat ibtidaiyah yang bernama”Sakola kita” (Sekolah Kitab) dan sekolah umum yang bernama “Sekolah Desa” yang kemudian berkembang menjadi “Sekolah Rakyat”yang setingkat dengan Sekolah Dasar (SD) pada masa sekarang.
Pada tahun 1931 Ruma Bicara (perdana Menteri) Abdul Hamid bersama Abdul Wahid Karim Muda tokoh Muhammadiyah kelahiran sumatera Barat,mendirikan “Madrasyah Darul Tarbiyah” di kota  Raba. Keberadaan sekolah ini disambut positif oleh Sultan Muhammad Salahuddin, dengan memberikan bantuan berupa dana serta sarana pendidikan pada tahun 1934, Sultan bersama ulama dari Batavia bernama Syekh Husain Sychab mendirikan “Madrasah Darul Ulum” di kampung Suntu Bima. Dua lembaga pendidikan Islam ini, berhasil mencetak kader Islam yang kelak menjadi tokoh – tokoh yang berani baik pada masa pergerakan maupun pada era revolusi kemerdekaan.
Pada tahun 1931, pengembangan kualitas dan kuantitas sekolah agama serta rumah ibadah (masjid dan langgar), oleh sultan diserahkan kepada “Lembaga Syara Hukum” Lembaga yang sebelum tahun 1908, merupakan lembaga resmi pemerintah Kesultanan yang bernama “Lembaga Sara Hukum” pada tanggal 16 Maret 1968 lembaga ini berubah statusnya menjadi “Yayasan Islam Bima”. Sumber dana berasal dari “Dana Molu” (sawah Maulud) sebanyak 200 Ha.
Pada awal pelaksanaan sistim pendidikan modern, Sultan mengalami banyak kendala. Masyarakat yang terkenal taat pada agama, curiga dengan sistim pendidikan yang berasal dari orang Belanda yang dianggap”Dou kafi”(orang kafir). Untuk mengantisipasi kecurigaan masyarakat, Sultan berusaha mendatangkan guru – guru yang beragama Islam dan berjiwa nasionalis dari berbagai daerah luar,antara lain dari makasar dan Jawa. Guru – guru non Islam tetap berjiwa nasionalis diusahakan untuk mengajar di sekolah umum. Akhirnya kehadiran guru – guru tersebut disambut baik oleh masyarakat. Semangat persatuan yang tidak dibatasi oleh suku dan agama mulai terjalin. Hal ini mulai pertanda tumbuhnya semangat kebangsaan di Bima. (M. Hilir Ismail, 2002). Guru – guru yang didatangkan dari luar daerah, antara lain Muhammad Said dan SBS Yulianche dari Makasar. Muhammad Said akhirnya menikah dengan gadis Ngali Bima dan memperoleh anak antara lain Prof. DR. Muh. Natsir (Alm).
Salah satu kebijakan Sultan Muhammad Salahuddin  yang patut dihargai ialah memberikan beasiswa kepada pelajar yang berprestasi untuk belajar ke Makasar dan kota – kota besar di Jawa, bahkan ada yang di kirim ke timur tengah. (Ibid, 2002). Pelajar yang diberi beasiswa benar – benar berdasarkan prestasi dengan tidak mempertimbangkan status sosial dan jenis kelamin. Setelah kembali ke Bima, mereka  tampil sebagai pemimpin dan tokoh perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan.
Sebagai reaksi penolakan isi perjanjian Linggar Jati yang ditanda tangani oleh Sultan Syahrir pada tanggal 23 Maret 1947, dan pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT), Sultan Muhammad Salahudin bersama tokoh pemuda, pada tanggal 23 Maret 1948, mendirikan organisasi lokal “Ikatan Qaum Muslimin Indonesia” (IQAM). Dengan susunan pengurus H. Usman Abidin (ketua) dan wakil ketua M. Idris Jafar, Sekretaris I M. Saleh Bakry dibantu sekretaris II Jafar AR, Bendahara Abdullah Amin Teta Hafsah dengan pembantu masing – masing Nasaruddin dan M. Hasan. Pada tahun 1949, pengurus IQAM menghadiri kongres Al Islami di Yokyakarta untuk memperjuangkan pemerintahan pusat menolak pembentukan negara RIS.
Munculnya organisasi “ Rukun Wanita” (RW) yang dirintis oleh permaisurinya Siti Aisyah pada tanggal 11 September 1949 mendapat respon positif dari Sultan Muhammad Salahuddin. Organisasi lokal ini diketahui oleh SBS Yulianche, ketua muda putri Siti Maryam Binti Muhammad Salahudin, sekretaris I Nurbani Abidin Ishak, sekretaris II Siti Maryam guru sekolah rakyat Raba dan Siti Aisyah Nasruddin sebagai bendahara. Sejak awal pemerintahannya, Sultan memperhatikan kepentingan wanita. Karena itu Sultan Muhammad salahuddin juga mendukung sepenuhnya Aisyah Bima yang dirintis oleh Ibu Sulastrti.  Secara resmi berdiri pada tahun 1938, dengan susunan pengurus yang diketuai oleh Ibu Jaenab AD Talu dan wakil ketua Oleh Ibu Kartini M. Amin.
NU (Nahdatul Ulama) yang semula merupakan organissasi keagamaan yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan pada tahun 1950, berubah statusnya menjadi organisasi politik, ikut direstui oleh Sultan Muhammad Salahuddin. Begitu pula lahirnya partai Masyumi pada tanggal 5 januari 1950, mendapat dukungan dari Sultan Muhammad Salahudin. Walaupun semula dirinya mengharapkan agar tokoh – tokoh islam tetap berada dalam IQAM.
Kehadiran organisasi yang tidak berazaskan Islam, seperti Parindra tahun 1939, PIR tahun 1949 dan PNI pada era yang sama, tetap disambut baik oleh Sultan Muhammada Salahuddin. Kendati secara pribadi dirinya adalah seorang tokoh nasional Islam yang berjiwa Demokrat. Sultan Muhammad Salahuddin tetap menghargai keragaman misi, selama visi kedepan tetap satu, yaitu merebut kembali kemerdekaan dari tangan penjajah.
Pada tanggal 22 November 1945, Sultan Muhammad Salahuddin mencestukan pernyataan jiwa seluruh lapisan masyarakat Bima, yang sangat mencintai negara kesatuan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Pernyataan cinta setia kepad negara kesatuan RI, yang dikeluarkan pada tanggal 22 November 1945 terkenal dengan “Maklumat 22 Novenber 1945”, yang isinya adalah sebagai berikut :
  1. Pemerintah kerajaan Bima, adalah suatu daerah istimewa dari negara Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan Negara Republik Indonesia.
  2. Kami menyatakan, bahwa pada dasarnya segala kekuasaan dalam pemerintahan kerajaan Bima terletak di tangan  kami, oleh karena itu sehubungan dengan suasana dewasa ini, maka kekuasaan – kekuasaaan yang sampai sekarang ini tidak ditangan kami, maka dengan sendirinya kembali ke tangan kami.
  3. Kami menyatakan dengan sepenuhnya, bahwa perhubungan dengan pemerintahan dalam lingkungan kerajaan Bima bersifat langsung dengan pusat Negara Republik Indonesia.
  4. Kami memerintahkan dan percaya kepada sekakian penduduk dalam seluruh kerajaan Bima, mereka akan bersifat sesuai dengan sabda kami yang ternyata di atas.
Maklumat 22 November 1945, semakin mempersulit posisi Jepang. Karena sesuai dengan perjanjian sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, semua masalah di daerah bekas jajahan Jepang akan ditangani oleh sekutu. Hal ini sudah berkali –kali diperingatkan oleh Mayor Jenderal Tanaka, namun Sultan bersama KNI, TKR dan API tidak pernah mengindahkannya.
Lebih kurang sebulan kemudian, yaitu pada tanggal 17 Desember 1945, di halaman depan Istana dilangsungkan upacara hari peringatan kemerdekaan. Pernyataan hari kemerdekaan Republik Indonesia, idealnya harus berlangsung pada tiap tanggal 17 Agustus. Untuk menunjukan kesetiaam terhadap Negara kesatuan RI,
Upacara dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 1945. setelah upacara, diadakan pawai keliling kota, dan dilanjutkan dengan pertandingan  “sempa raga”  (sepak raga) salah satu jenis olahraga tradisional Bima. Pada malam hari di sekolah pertanian Lewi Rato dipergelarkan seni pertunjukan sandiwara.
Kunjungan Presiden RI Pertama Soekarno tercatat dalam sejarah Bima sebanyak dua kali. Kunjungan pertama dilakukan sebelum Indonesia merdeka  yaitu pada saat pembuangannya di Ende.   Dalam perjalanannya di Ende itulah Soekarno pernah singgah di Bima dan menginap di Istana Bima. Ruangan dan tempat tidur sang proklamator ini masih ada di Istana Bima di lantai dua bangunan bersejarah itu. Sedangkan kunjungan yang kedua dilakukan pada tanggal 3 Nopember 1950. Lima tahun setelah Indoenesia merdeka dan setelah lima tahun pula Sultan Muhammad salahuddin mengeluarkan maklumat untuk berdiri di belakang Republik Indoenesia.
Kecintaan Sultan muhammad Salahuddin terhadap negara dan bangsa tidak pernah pudar dan hilang. Jiwa nasionalis dapat dilihat dari getaran sukma dan sikap jiwanya ketika menyampaikan pidato resmi di hadapan presiden republik indonesia soekarno yang berkunjung ke bBma.Berikut kutipan pidato tersebut :

“ Paduka yang muila, rindu yang meluas ini bukan baru sekarang saja timbulnya, akan tetapi sejak ledakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pada saat ketika mana terbayanglah di muka kami rakyat disini wajah bapak-bapak pemimpin kita Bung Karno dan Bung Hatta yang sedang memproklamirkan kemerdekaan indonesia, lalu pada saat itu juga tertanamlah dalam jiwa rakyat disini arti proklamasi yang harus dijunjung tinggi, harus dipertahankan dan harus dimiliki itu, sehingga pada tanggal 22 Nopember 1945, kami di kesultanan Bima ini mengeluarkan peryataan bahwa daerah kesultanan Bima menjadi daerah istimewa yang langsung berdiri di belakang Republik indoenesia.”

Dari  pidato tersebut, dapat dibuktikan betapa kecintaan dan kesetiaan sultan dan rakyat Bima terhadap negara dan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Kecintaaan yang tak pernah lapuk oleh zaman dan waktu, selama pemimpin negara menjalankan tugas dan kewajiban, sesuai dengan falsafah yang dikenal dan diakui oleh raktyat Bima sejak masa lalu akan taat kepada pimpinannya, selama raja dan sultan berbuat dan bertindak yang sesuai dengan falsafah “ Tohompara Nahu sura dou Labo Dana”.
Akibat dari sikap dan tindakan sultan Muhammad Salahuddin yang berdiri di belakang negara kesatuan Republik Indoesia, Pemerintah Jepang menekan sultan agar merubah sikapnya. Menurut Pemerintah Jepang nasib Bangsa Indoenesia tergantung dari hasil keputusan sekutu, karena berdasarkan isi perjanjian antara Jepang dan Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, segala  masalah yang berhubungan dengan masalah jajahan Jepang akan ditangani oleh sekutu. Tetapi penekanan ini tidak digubris oleh sultan Muhammad Salahuddin. Atas dukungan para pejuang dan rakyat, perlawanan terhadap penjajah terus dilakukan sampai Indonesia merdeka.
Demikianlah alur nampak lintas perjuangan Sultan Muhammad Salahuddin, Sultan Bima XIII yang sangat dicintai hampir seluruh rakyatnya, dan  yang sangat tabah menghadapi badai perjuangan. Semua tantangan dan musuh dihadapi dengan tabah, keritikan – keritikan tajam dari kelompok lawan politiknya diterima dengan lapang dada.
Keinginan pemerintah pusat untuk memakamkan jenazah Sultan Muhammad Salahuddin  di Taman Makam Pahlawan KaliBata gagal dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan wasiat beliau. Menjelang akhir hayatnya, Sultan berpesan agar jenajahnya dikebumikan di perkuburan Rakyat. Akhirnya Jenazah  dimakakmkan di Tanah Abang jakarta. Sultan Muhammad Salahuddin  sudah tiada, meninggalkan rakyat dan negeri untuk selama – lamanya. Sesuai denga amal salehnya semasa hidup, oleh rakyat dianugerahi gelar “Maka Kidi Agama” yaitu Sultan yang menegakkan kebesaran agama Islam di persada Bumi Bima.
Berdasarkan hasil pengamatan dalam menelesuri alur perjuangan Sultan Muhammad Salahuddin, dapat diketahui tentang prestasi yang telah diraihnya. Selain telah menggapai kesuksesan, sering pula mengalami kegagalan. Kesuksesan dan  kegagalan dalam perjuangan merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia. Makin luhur serta mulia tugas yang diemban, semakin banyak cobaan dan ujian yang akan dihadapi, jabatan Sultan sebagai Khalifah termaksud jabatan mulia yang sangat berat untuk dilaksanakan. Tugas mulia itu terus dirasakan  berat oleh Sultan Muhammad Salahuddin, karena pada masa pemerintahannya harus menghadapi kedholiman penjajah.
Atas Ijin Allah, Sultan bersama pimpinan rakyatnya, telah banyak mencapai kesuksesan terutama di bidang agama, pendidikan dan politik yang sampai sekarang masih dirasakan manfaatnya, selain keberhasilan, tidak sedikt juga kegagalan atau keberhasilan yang tertunda untuk terus diperjuangkan oleh kita dan generasi akan datang.
Di bidang agama melalui perjuangan yang sungguh – sungguh, telah berhasil meningkatkan kuallitas dan kuantitas iman dan takwa masyarakat. Bemodalkan iman dan takwa mereka tidak gentar menghadapi semua tantangan. Masyarakat Bima mampu mempertahankan identitasnya sebagai umat Islam yang taat dan tidak terpengaruh oleh agama dan faham yang diseberluaskan oleh penjajah. Pembangunan rumah ibadah seperti Mesjid dan Langgar sebagai pusat ibadah dan dakwah, terus ditingkatkan jumlahnya.
Hasil perjuangan atau karya besarnya yang patut  disyukuri ialah di bidang pendidikan. Beliau adalah tokoh pendidikan yang merintis palaksanaan sistem pemdidkan midern di Bima. Pada masa pemerintahannya, mulai didirikan sekolah agama dan umum. Pembangunan gedung sekolah bukan hanya di Kota, tetapi juga tersebar di seluruh kejenelian. Para siswa yang berprestasi diberikan beasiswa  untuk melanjudkan keluar daerah. Beliau mampu meningkatka kualitas iptek yang pada masa sebelumnya sangat jauh tertinggal.
Beliau juga mampu menanamkan kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, melalui organisasi pergerakan modern. Beragam organisasi pergerakan yang lahir pada masa pemerintahannya selalu mendapat dukungan. Melalui organisasi pergerakan, pemuda pelajar tampil sebagai sosok pejuang yang berani melawan penjajah. Para tokoh pemuda pelajar memiliki wawasan persatuan dan kesatuan yang luas, tanpadibatasi oleh bingkai suku dan agama. Mereka bersatu padu dengan pejuang dari suku – suku lain.
Peranan Sultan Muhammad Salahuddin yang tidak kalah pentingnya ialah di bidang politik. Beliau telah berhasil mewudkan cita – citanya mempertahankan keutuhan negara kesatuan RI. Dorongan semangat nasionalisme Islam yang tumbuh dalam jiwa Sultan bersama rakyat, tergambar secara utuh dan jelas pada maklumat 22 November 1945. kecintaannya kepada bangsa dan negara, melahirkan keberanian menghadapi penjajah Belanda, Jepang dan NICA.
Disamping keberhasilan pada bidang tersebut di atas, beliau jaga telah membangun bangunan yang merupakan monumen sejarah. Bangunan yang merupakan saksi sejarah perjuangan Sultan bersama rakyat, ialah dua Istana dan sebuah Masjid. Dua Istana yang didirikan beliau pada tahun 1927 yatiu Istana Kesultanan Bima dan Istana kayu yang bergaya arsitektur Mbojo bernama “Asi Bou”. Bangunan bersejarah itu sekarang sudah ditetapka sebagai benda Cagar Budaya. Salah satu dari sekian banyak Mesjid  yang beliau dirikan ialah “Mesjid Raya Bima” yang berada di sebelah timur Istana. Mesjid yang didirikan oleh Sultan Muhammad Salahuddin pada tahun 1947 itu, bernama Mesjid Raya Al Muwahiddin Bima. Penanggugn jawab pembangunan Mesjid diserahkan kepada H. Usman Abidin dan M. Jafar Idris, dua tokoh yang selalu membantu Sultan di bidang agama, pendidikan dan politik.
Demiianlah sekilas hasil akrya yang diukir oleh Sultan Muhannad Salahuddin selama masa pemerintahannya yang berlangsung 36 tahun. Hanya Allah jua yang mampu memberikan penilaian yang maha adil atas semua amal pernuatan Sultan Muhammad Salahuddin khilifah di muka bumi

Senin, 24 September 2012

SEJARAH KOTA DOMPU (NGGAHI RAWI PAHU)

Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia, Kabupaten Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), mempunyai catatan sejarah tersendiri. Seperti halnya Sejarah Kesultanan Lombok, Sejarah Kesultanan Sumbawa, dan Sejarah Kesultanan Bima, Dompu dahulu kala juga merupakan salah satu daerah bekas kerajaan atau kesultanan. Kerajaan Dompu merupakan salah satu kerajaan yang paling tua khususnya di Indonesia Bagian Timur. Arkeolog dari Pusat Balai Penelitian Arkeologi dan Purbakala, Sukandar dan Kusuma Ayu dari berbagai hasil penelitiannya menyimpulkan Dompu atau (Kerajaan Dompo) adalah kerajaan yang paling tua di wilayah timur Indonesia. 

Berdasarkan catatan sejarah di Dompu, sebelum terbentuknya kerajaan di daerah tersebut, telah berkuasa beberapa kepala suku yang disebut sebagai “Ncuhi” atau raja kecil. Ncuhi terdiri atas empat orang yakni Ncuhi Hu`u yang berkuasa di daerah Hu`u (sekarang Kecamatan Hu`u), Ncuhi Soneo yang berkuasa di daerah Soneo dan sekitarnya (sekarang Kecamatan Woja dan Dompu). Selanjutnya Ncuhi Nowa berkuasa di Nowa dan sekitarnya serta Ncuhi Tonda berkuasa di Tonda (sekarang wilayah Desa Riwo Kecamatan Woja Dompu). Dari keempat Ncuhi tersebut yang paling dikenal adalah Ncuhi Hu`u. 

Menurut cerita rakyat dompu di negeri Woja berkuasa seorang Ncuhi Kula yang mempunyai anak perempuan bernama Komba Rawe. Ncuhi tersebut kemudian dikenal dengan nama Ncuhi Patakula. Cerita rakyat setempat menyebutkan, putra raja Tulang Bawang terdampar di daerah Woja dalam pengembaraannya, tepatnya di wilayah Woja bagian timur. Kemudian putra raja Tulang Bawang tersebut menikah dengan putri Ncuhi Patakula. Selanjutnya para Ncuhi sepakat menobatkan putra raja Tulang Bawang sebagai raja Dompu yang pertama. Sedangkan Raja Dompu ke-2 bernama Dewa Indra Dompu yang lahir dari perkawinan antara putra Indra Kumala dengan putra Dewa Bathara Dompu. Berturut-turut Raja yang menguasai daerah ini adalah Dewa Mbora Bisu, yang merupakan Raja Dompu yang ke-3. Raja ke-4 Dompu adalah Dewa Mbora Balada, yang merupakan saudara dari Dewa Mbora Bisu dan Dewa Indra Dompu. Pada abad XIX di Dompu saat itu memerintah raja-raja yang lemah. Kerajaan dikacaukan oleh berbagai pemberontakan pada tahun 1803 yang memaksa pihak residen campur tangan,Sultan Abdull Azis, putra Sultan Abdullah yang kemudian mengganti Sultan Yakub, ternyata tidak mampu banyak berbuat untuk memajukan kerajaannya. 

Seluruh kerajaan antara tahun 1810-1814 diancam perompak-perompak yang menghancurkan desa-desa yang ada di wilayah Dompu saat itu. Pada sekitar tahun 1809 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan Gubernur Van Kraam untuk memperbaharui perjanjian dengan Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di Bima. Pada 5-12 April 1815, ketika Gunung Tambora meletus, akhirnya sepertiga dari penduduk tewas dan sepertiga lainnya berhasil melarikan diri. Sultan Abdull Rasul II memindahkan Istana Bata yang merupakan Situs Doro Bata yang terletak di kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu ke Istana Bata yang baru, karena itu dia disebut dengan gelar Bata Bou. Beliau diganti oleh putranya, Sultan Muhammad Salahuddin.

Salahuddin mengadakan perbaikan dalam sistem dan hukum pemerintahaan. Dia pun menetapkan hukum adat berdasarkan hasil musyawarah dengan para alim ulama, sekaligus menetapkan hukum adat yang dipakai adalah hukum Islam yang berlalu di wilayah kekuasaannya. Dalam menjalankan pemerintahaannya, Sultan dibantu oleh majelis adat serta majelis hukum. Selanjutnya mereka (para pembantu itu) disebut manteri dengan sebutan raja bicara, rato rasanae, rato perenta, dan rato Renda. Mereka tergabung suatu dewan hadat, dan merupakan badan kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Sultan. 

LETUSAN TAMBORA 

Gunung Tambora yang meletus pada 10 – 11 April 1815, dalam catatan sejarah Dompu, mengakibatkan tiga kerajaan kecil (Pekat, Tambora, dan Sanggar) yang terletak di sekitar Tambora tersebut musnah. Ketiga wilayah kerajaan kecil itu pun kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Dompu. Pertambahan wilayah Kesultanan Dompu tersebut dinilai merupakan suatu pertanda kelahiran baru bagi Dompu Baru, yakni pergantian antara Dompu Lama ke Dompu Baru. Peristiwa tersebut menggambarkan kelahiran wilayah Dompu yang bertambah luas wilayahnya. Ahli sejarah Helyus Syamsuddin mengungkapkan, peristiwa 11 April 1815 tersebut akhirnya dijadikan sebagai hari kelahiran Dompu, yang kemudian dikuatkan dengan Peraturan Daerah No.18 tanggal 19 Bulan Juni 2004. 

LETUSAN TAMBORA, SEBUAH MISTERI LAHIRNYA DOMPU BARU 

Seperti di daerah lain Lombok,Sumbawa dan Bima, Dompu dahulu kala juga merupakan salah satu daerah bekas Kerajaan atau Kesultanan. Bahkan konon Kerajaan Dompu merupakan salah satu Kerajaan yang paling tua khususnya di bagian Indonesia Timur. Arkeolog dari Pusat balai penelitian arkeologi dan Purbakala Drs.Sukandar dan Dra. Kusuma ayu pada saat melakukan penelitian di Dompu beberapa waktu lalu pernah menyatakan bahwa dari berbagai hasil penelitiannya di Dompu dapat disimpulkan bahwa Dompu (Kerajaan DOMPO-Red) adalah Kerajaan paling tua diwilayah Timur Indonesia. 

Namun sayang, tidak seperti di Lombok,Sumbawa dan Bima dimana untuk mengetahui lebih jauh tentang Kerajaan tempo dulu ketiga daerah tetangga tersebut banyak didukung oleh berbagai bukti otentik yang dapat menggambarkan tentang peristiwa sejarah tempo dulu,sedangkan di Dompu bukti otentik untuk mendukung keberadaan sejarah masa lalu tampaknya masih sangat kurang sekali bahkan bisa dikatakan hampir sudah tidak ada sama sekali. Barangkali inilah merupakan salah satu tugas dan kewajiban khususnya bagi kalangan generasi muda di daerah ini untuk lebih bekerja keras agar berbagai tabir misteri sejarah tempo dulu dapat segera terungkap meskipun hal itu membutuhkan perjuangan dan usaha yang cukup menyita waktu bahkan material sekalipun. Upaya pemkab Dompu dalam rangka untuk mencapai hal tersebut patut kiranya didukung oleh semua pihak,bahkan pemkab Dompu sendiri telah banyak berupaya dan tentunya pekerjaan tersebut akan sukses apabila selalu mendapat dukungan serta do,a restu dari seluruh lapisan masyarakat yang ada dan jangan malah pekerjaan itu dianggap hanya akan membuang energi serta mubazir saja. “Orang bijak mengatakan,terlalu sombong dan munafik apabila kita melupakan sejarah kita sendiri”, semoga hal itu tidak akan pernah terjadi, amin. 

Sejarah mencatat,di dompu sebelum terbentuknya kerajaan konon didaerah ini berkuasa beberapa kepala suku yang disebut sebagai “NCUHI” atau Raja Kecil, para ncuhi tersebut terdiri dari 4 orang yakni Ncuhi Hu,u yang berkuasa diwilayah kekuasaan daerah Hu,u (Sekarang kecamatan Hu,u Dompu – Red), kemudian Ncuhi Saneo yang berkuasa didaerah Saneo dan sekitarnya (sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan woja Dompu), selanjutnya Ncuhi Nowa dan berkuasa didaerah Nowa dan sekitarnya serta Ncuhi Tonda berkuasa diwilayah kekuasaannya yakni di sekitar Tonda dan saat ini masuk dalam wilayah Desa Riwo kecamatan woja Dompu. 

Diantara keempat Ncuhi tersebut yang paling terkenal konon yakni Ncuhi Hu,u. menurut cerita rakyat yang ada bahwa,konon di negeri Woja berkuasa seorang Ncuhi bernama “Sang Kula” yang akhirnya mempunyai seorang anak perempuan bernama “Komba Rame”. Ncuhi ini kemudian terkenal dengan nama Ncuhi “Patakula”. Pada saat itu konon terdamparlah putra Raja Tulang Bawang didaerah woja yang sengaja mengembara di daerah Woja bagian timur. Singkat cerita akhirnya putra Raja Tulang Bawang ini kawin dengan putrid Ncuhi patakula dan selanjutnya para Ncuhi yang ada akhirnya sepakat untuk menobatkan putra Raja Tulang Bawang tersebut sebagai Raja Dompu yang pertama. Pusat pemerintahannya konon disekitar wilayah desa Tonda atau di desa Riwo masuk dalam wilayah kecamatan woja sekarang. 

Sedangkan Raja ke-2 Dompu adalah bernama Dewa Indra Dompu yang lahir dari perkawinana antara putra Indra Kumala dengan putra Dewa Bathara Dompu. Berturut-turut Raja yang menguasai daerah ini adalah : Dewa Mbora Bisu,Raja dompu ang ke-3 adalah yaitu yang menggantikan kakaknya Dewa Indra Dompu,cucu dari Indra Kumala. Dewa Mbora Belanda : beliau adalah saudaranya dari Dewa Mbora Bisu dan Dewa indra Dompu yang menjadi Raja ke-4 didaerah ini. Dewa yang punya Kuda. Pengganti Dewa Mbora Belanda adalah putranya yang bernama Dewa yang punya Kuda dan memerintah sebagai Raja yang ke-5,Dewa yang mati di Bima. 

Raja yang dikenal sebagai seorang yang dictator,sehingga diturunkan dari tahta kerajaan oleh rakyat Dompu ialah Dewa yang mati di Bima. Beliau konon menggantikan ayahnya (Dewa yang punya Kuda) sebagai raja yang ke-6 di Dompu akan tetapi karena hal itu akhirnya di bawa ke Bima dan meninggal di sana,dewa yang bergelar “Mawaa La Patu”. Raja inilah sebenarnya yang akan di nobatkan sebagai raja Dompu yang menggantikan dewa yang mati di Bima,namun beliau ke Bima dan selanjutnya memerintah di sana. Pada masa pemerintahan Raja inilah terkenal satu ekspedisi dari Kerajaan di pulau Jawa yakni kerajaan Majapahit yang konon ekspedisi tersebut di pimpin oleh salah seorang Panglima perang bernama Panglima Nala pada tahun 1344,namun ekspedisi tersebut ternyata gagal. 

Oleh rakyat dompu raja yang satu ini sangat dikenal sebagai raja yang disiplin dalam menjalankan pemerintahanya,teratur dalam social ekonomi maupun politik sehingga masyarakat saat itu memberi gelar sebagai “Dewa Mawaa Taho”, semula raja ini dikenal dengan nama “Dadela Nata”. Beliau adalah raja yang ke-7 dan merupakan raja Dompu yang terakhir sebelum masuknya ajaran Islam di Kerajaan Dompu,raja tersebut berkedudukan atau bertahta di wilayah Tonda. 

Ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh Panglima Nala dan di bawah komanda Sang Maha Patih Gajah Mada mengalami kegagalan pada ekspedisi pertama,selanjutnya menyusul ekspedisi yang ke-2 pada sekitar tahun 1357 yang di Bantu oleh Laskar dari Bali yang dipimpin oleh Panglima Soka. Ekspedisi yang ke-2 inilah Majapahit berhasil menakklukkan Dompu dan akhirnya bernaung di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Melihat fenomena diatas maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan Kerajaan Dompu tersebut ternyata sudah ada sebelum Majapahit,hal itu juga dapat dibuktikan dalam isi sumpah Palapanya sang Gajah Mada dimana dalam isinya sumpahnya itu disebutlah nama kerajaan DOMPO (Dompu-Red) sebagai salah satu kerajaan yang akan di taklukkan dalam ekspedisinya tersebut. 

Kesultanan Dompu. 

Pada abad ke-XIX di Dompu saat itu memerintah raja-raja yang lemah,Kerajaan di kacaukan oleh berbagai pemberontakan pada tahun 1803 yang memaksa memerlukan campur tangan pihak residen. Sejak Sultan Abdull Azis,putra Sultan Abdullah yang mengganti Sultan Yakub tidak banyak berbuat untuk memajukan kerajaannya. Seluruh kerajaan antara tahun 1810-1814 diancam perompak-perompak yang menghancurkan desa-desa yang ada diwilayah dompu saat itu. Pada sekitar tahun 1809 Gubernur Jenderal Daendels menegaskan,Gubernur Van Kraam untuk memperbaharui perjanjian dengan Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di Bima,begitu pula penggantinya sultan Muhammad Tajul Arifin I putra Sultan Abdull Wahab,Sultan Muhammad tajul arifin I diganti oleh Sultan Abdull Rasul II,adik beliau. Dari 5-12 April 1815 ketika tambora meletus akhirnya sepertiga dari penduduk tewas dan sepertiga lainya berhasil melarikan diri. 

Sultan Abdull Rasul II memindahkan Istana Bata (ASI NTOI) kini merupakan Situs Doro Bata yang terletak di kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu ke Istana Bata yang baru (ASI BOU) Karena itu beliau disebut dengan gelar “Bata Bou”, beliau diganti oleh putranya,Sultan Muhammad Salahuddin. Salahuddin mengadakan perbaikan dalam system dan hokum pemerintahaan,beliau menetapkan hokum adat berdasarkan hasil musyawarah dengan para alim ulama sekaligsu menetapkan hokum adat yang dipakai adalah hokum Islam yang berlalu diwilayah kekauasaanny. Dalam menjalankan pemeerintahaannyaSultan dibantu oleh majelis hadat serta majelis hokum mereka itu dalam tatanan kepangkatan hadat dan hokum,mereka selanjutnya mereka disebut manteri-manteri dengan sebutan “Raja Bicara,rato rasana,e, rato perenta,dan rato Renda” mereka tergabung suatu dewan hadat,merupakan badan kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan sultan. 

Hadat juga merupakan kelengkapan pemerintahaan yang berfungsi menjalankan hokum agama yang di kepalai oleh “Kadi” atau sultan menurut keperluannya. Seperti sultan-sultan sebelumnya,salahuddin tetap melakukan hubungan dengan pihak pemerintah kolonial Belanda. Menurut Zolinger,sejak mengadakan perjanjian dengan kompeni pada sekitar tahun 1669. selanjutnya Sultan Muhammad salahuddin diganti leh putranya yakni Sultan Abdullah. Pada masa pemerintahaannya beliau menanda tangani kontrak panjang pada tahun 1886 silam. Beliau Selanjutnya diganti oleh putrannya Sultan Muhammad Siradjuddin yang memperbaharui konrak tersebut pada sekitar tahun 1905. Sejarah juga menyebutkan bahwa Sultan pertama di Dompu setelah adanya likuidasi pergantian pemerintahan dari sistim Kerajaan menjadi Kesultanan yakni Sultan Syamsuddin I. Dan beliaulah merupakan pemimpin atau Raja yang pertamakali memeluk agama Islam begitu sistim pemerintahaannya berubah menjadi Kesultanan. Tahun 1958 Kesultanan dompu yang saat itu dipimpin oleh Sultan dompu terakhir yakni Sultan Muhammad Tajul Arifin (Ruma To,i), sistim pemerintahan di Dompu dirubah menjadi suatu daerah swapraja Dompu dan Kepala daerah Swatantra tingkat II Dompu tahun 1958-1960. 

Kerajaan Sanggar. 

Sanggar merupakan kerajaan kecil yang terletak disebelah barat laut Dompu disebelah timur kaki gunung tambora. Pada tahun 1805 raja sanggar meninggal dan digantikan oleh saudaranya yakni Ismail ali Lujang. Pada abad ke-XIX,sebelum tambora meletus dengan dahsyatnya, penduduk saat itu berjumlah skitar dua ribu orang pada tahun 1808 dan meningkat menjadi dua ribu dua ratus orang pada tahun 1815. 

Ketika Tambora meletus pada bulan april 1815 sebagian besar penduduknya meninggal,dan tinggal dua ratus orang saja dan karena diserang leh perampok pada tahun 1818 mereka melarikan diri ke Banggo di Kerajaan Dompu,dan sebagaian ke Gembe Bima. Dengan bantuan gubernurmen pada tahun 1830 mereka akhirnya kembali ke sanggar. Gubernurmen memberikan bantuan beberapa senapan dan amunisi untuk menjaga diri dari srangan musuh. Pada tahun 1837 penduduk Sanggar masih berjumlah sekitar tiga ratus tiga orang dan pada tahun 1847 meningkat menjadi tiga ratus lima puluh orang atau jiwa. Rumah raja dibuat oleh rakyatnya sendiri dengan bahan dari kayu pilihan secara gotong – royong. Raja dan para pembesar kerajaan saat itu tidak di gaji tetapi tanah-tanah mereka dikerjakan oleh rakyatnya. Pada awal abad ke- XX atau sejak Belanda menguasai pulau sumbawa secara langsung,Kerajaan Sanggar di hapus serta digabungkan dengan kekuasaan Kesultanan Bima hingga sekarang ini. 

Kerajaan Tambora. 

Kerajaan Tambora yang teretak pada suatu jazirah yang pada ketiga penjuru dibatasi oleh laut. Disebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Sanggar dan Kerajaan Dompu dengan luas areal wilayah 459 pal persegi. Seluruh kerajaan berada disekitar kaki gunung Tambora (Gunung Arun). Sebelum Tambora meletus,air sudah sangat kurang dan untuk mendapatkan air minum penduduk saat itu menggali sumur di sekitar pantai. Rakyat tambora hidup dari berladang atau bercocok tanam serta beternak dan meramu. 

Ladang-ladang cukup dilembabpi oleh embun dan karena itu mereka bertanam pada sekitar bulan agustus dan panen pada bulan desember. Kekayaan yang utama adalah ternak kuda dan hasil kayu hutan . setengah dari hasil Gubernemen dan setengah dari kuda-kuda tersebut dikirim ke Kerajaan Bima pada tahun 1806 dan tahun 1807 berasal dari Tambora. Menurut Tobias,pada tahun 1808 Kerajaan Tambora berpenduduk sekitar empat ribu iwa dan pada tahun 1815 atau setelah tambora meletus penduduk kerajaan tambora sebagian habis tewas sebanyak tiga puluh ribu jiwa lebih. Dan pada tahun 1816 sisa penduduk yang masih hidup akhirnya meninggal semua karena diterjang banjir bandang dan banjir lahar,selanjutnya bekas Kerajaan tambora yang sudah habis ditelan ganasnya alam tersebut digabungkan dengan wilayah Kesultanan Dompu hingga sekarang ini. Bekas Kerajaan tambora kini masuk dalam wilayah Kecamatan Pekat Dompu. 

Kerajaan Papekat (Pekat). 

Dimasa pemerintahan kabupaten Dompu,nama Pekat saat ini merupakan nama sebuah desa yang terletak di wilayah kecamatan Pekat – Calabay Dompu (Nama Ibu Kota Kecamatan Pekat) Konon nama Pekat berasal dari kata “Pepekat”. 

Kerajaan kecil ini tidak banyak meninggalkan atau menyimpan bukti-bukti untuk mendukung keberadaan kerajaan tersebut tempo dulu bahkan hampir dikatakan tidak ada sama sekali,hanya nama Pekat kini merupakan nama sebuah desa di kawasan lereng gunung Tambora. Catatan sejarah menyebutkan,meskipun suatu kerajaan kecil tetapi Pekat saat itu teraus diijinkan berdiri oleh pemerintah penjanjah VOC terutama untuk membendung pengaruh dari Kerajaan Makassar ang sewaktu-waktu dapat membentuk kekuatan di situ. Maka dengan Pekat pihak VOC mengikat terus persahabatan yang baik sekali, tetapi akibat gunung Tambora meletus,akhirnya penduduk di Kerajaan Pekat musnah seluruhnya kemudian bekas kerajaan Pekat digabung kan dengan wilayah kekuasaan Kerajaan dompu hingga sekarang ini. 

Gunung Tambora Meletus pada tanggal 10 – 11 April 1815, dalam catatan sejarah Dompu letusan Tambora yang paling dahsyat yakni letusan pada tanggal 11 April 1815 yang mengakibatkan beberapa Kerajaan kecil yang terletak di sekitar Tambora menjadi sasaran empuk musibah tersebut sehingga 3 Kerajaan kecil tersebut musnah. Pralaya (Malapetaka) tersebut tampaknya di satu sisi berdampak positif bagi berkembangan Kerajaan Dompu, sebab setelah sekian tahun lamanya dalam perkembangan selanjutnya wilayah Kerajaan (Kesultanan) Dompu bertambah luas wilayahnya karena bekas wilayah 3 Kerajaan kecil pernah musnah akibat letusan Tambora tersebut akhirnya masuk kedalam wilayah Kerajaan (Kesultanan) Dompu hingga sekarang ini. Dengan bertambahnya wilayah Kesultanan Dompu tersebut (Pekat,Tambora dan sebagian wilayah Kerajaan Sanggar) maka moment tersebut dinilai merupakan suatu pertanda kelahiran baru bagi DOMPU BOU (Dompu Baru), yakni pergantian antara Dompu Lama dan Dompu Baru. Peristiwa tersebut menggambarkan kelahiran wilayah Dompu yang bertambah luas wilayahnya. 11 April 1815 Tambora meletus dengan dahsyatnya, akibat letusan Tambora wilayah Dompu dikemudian hari bertambah luasnya meliputi bekas Kerajaan Pekat, Kerajaan Tambora. DOMPU YANG BARU pun akhirnya lahir. Oleh ahli sejarah Prof.DR.Helyus Syamsuddin.PHd, peristiwa 11 April 1815 tersebut akhirnya dijadikan patokan dan dasar yang kuat sehingga 11 April dijadikan sebagai hari lahir atau hari jadi DOMPU. Selanjutnya melalui Peraturan Daerah (Perda) No.18 tanggal 19 Bulan Juni 2004 ditetapkan bahwa tanggal 11 April 1815 sebagai hari lahir/hari jadi Dompu.